By.
Rizka Ayu Ramadhani
Purbalingga,
17 April 2017
Dalam dinginnya malam
Terpaan sang angin
membangunkan dari lorong waktu
Seorang pertapa kecil
tenggelam bersama penyesalan
Layaknya angin yang menari
nari
Sang takdirpun berlari mengikutinya
Bagaikan suara detak gerimis
yang jatuh terdengar menyenangkan
Dan bulir gerimis itu indah
jika menetes titik demi titik
Suara merdu sang pemberi
petuah masih terlintas imaji
Indah dan selalu membekas
hingga esok
Anganku melayang...
Andai aku punya sayap
Aku akan terbang setinggi
bintang di langit
Andai aku jadi awan
Aku akan pergi searah dengan
angin
Andai aku terbangun dari
tidur panjangku
Aku akan menjadi seuntai
mawar yang menyerbakkan aroma wewangian
Layaknya gesekan lidi besar
Yang menghantam satu juta
daun daun kering
Dan desakan juta pasir yang
meluruh dalam irama
Hingga detik ini
Teratai hanya menjadi
fatamorgana
Takkan menampakkan sinarnya
Sampai rintik hujan datang
untuk memberi petuah
Usang...
Kusam...
Kotor...
Dan tak terawat...
Namun dia sanggup bertahan di
tengah rimbunan alam liar sekalipun...
Ketika detak jam terhenti,
Ketika matahari terbenam,
Dan bulan sabit
memperlihatkan keindahaannya,
Aku ingin seperti matahari..
Yang selalu menyinari dunia,
Aku ingin seperti bintang..
Yang selalu bersinar di malam
hari,
Aku ingin seperti burung yang
selalu mengepakkan sayapnya..
Namun...
Aku hayalah teratai liar yang
tertinggal dan yang ditinggalkan
Yang mencari setetes air
Hingga kini,
Aku masih menjejakkan kaki,
Dan menari angkuh di atas kaki
gunung,
Jiwaku bergejolak..
Asaku berkelana..
Mencari intuisiku..
Tanpa terasa,
Buliran salju jatuh di
pelupuk mata ini kembali terjatuh,
Tangisku menggema hingga
ujung koridor,
Menunggu seonggok alpha ,
Menemani kesepian dan
kesendirian ku,
Kau tahu??
Andai-andaiku hanyalah
seuntai kisah di hari esok...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar